Kamis, 06 Agustus 2015

tertipu diri sendiri





      Kunci bahagia adalah mawas diri. Sumber celaka adalah terlena dan kelalaian. Tiada kenikmatan teragung melebihi keimanan dan kema’rifatan. Tiada sarana untuk mencapainya selain kelapangan dada. Tiada siksa terpedih selain kekufuran dan kedurhakaan. Tiada pula pendorong padanya selain kebutaan hati oleh gelapnya kebodohan.

      Seorang yang punya kecerdasan rohani itu bagai lampu lentera, laksana  bintang  kejora  yang  terang benerang menyinari sekelilingnya, bak pohon zaitun yang tanpa tersentuh api ia akan tetap menerangi.

      Orang yang tertipu dirinya sendiri itu tak ubahnya seorang yang terjerembab ke dasar samudera yang diselimuti ombak berombak. Di atasnya awan yang tertutup awan. Begitu gelap gulita, sehingga ia seakan tidak mampu melihat tangannya sendiri. Mereka tidak pernah dapat cahaya dari Allah. Seorang  yang beruntung ialah orang yang di-kehendaki Allah mendapat hidayah-Nya. Sehingga Allah akan mela-pangkan dadanya untuk Islam. Sedangkan al maghrur (orang yang tertipu) adalah orang yang  hatinya sempit terhimpit. Mereka tidak mau membuka mata hatinya untuk menuntun jiwanya pada hidayah Allah. Mereka lebih suka menjadikan hawa nafsu dan syetan sebagai penuntun dan pembimbing mereka. Maka barang siapa yang di dunia ini sudah dibutakan oleh keduannya, kelak di akherat dia akan lebih buta dan lebih tersesat. Al- Ghurur (tertipu diri sendiri) merupakan sumber malapetaka dan kehancuran.

       Penyakit ini pun bisa menjerat semua kalangan. Mulai dari yang melarat sampai pejabat, dari yang ahli maksiat sampai yang ahli tirakat. Begitu banyaknya orang yang bisa terkena virus ini sehingga Imam Ghozali kemudian mengkelompokkan mereka menjadi empat kelompok. Yaitu:

 1). Kelompok ulama, 2). Kelompok ‘ubbad, 3). Kelompok sufi, dan 4). Kelompok orang berharta.
      Dari keempat kelompok di atas itu semua mempunyai ghurur yang berbeda satu sama lainnya. Sebagian mereka ada yang menganggap sesuatu yang munkar itu sebagai kebaikan, seperti seorang yang membangun dan memperindah masjid dengan mema-kai uang haram. Ada pula dari mereka yang masih belum tahu betul sebenarnya untuk siapa mereka bekerja dan beribadah. Apakah untuk hawa nafsunya ataukah untuk Allah swt. Sebagian lain ada yang rela meninggalkan santan dan rela dengan hanya kulit kelapa. Seperti halnya orang yang ketika sholat hanya disibukkan dengan manfashihkan bacaannya namun dia melupakan rukun-rukun yang lainnya.

      Dalam Al-Qur’an disebutkan : “Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya bertanya : Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu? Mereka menjawab: Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu (Q.S. Al-Hadid : 14)

      Al-Ghurur sangat identik dengan kebodohan. Karena dari sanalah muara semua bentuk cikal bakal segala malapetaka. Ghurur merupakan ungkapan akan keberpihakannya hati untuk lebih memilih bersekongkol dengan nafsu dan syetan yang banyak menampilkan muslihat kerusakan daripada mengikuti apa kata hati nuraninya yang selalu membisikkan kebenaran. Sehingga orang yang terpengaruh penyakit ini akan selalu membe-narkan argumen nafsu-syetan, meskipun sebenarnya keliru.

      Tidak sedikit manusia yang terkena penyakit ini. Bahkan bisa dikatakan merata pada semua lini. Namun penyakit ini sangat bervariasi dan bertingkat-tingkat. Tingkatan yang paling parah adalah ghururnya seorang kafir, lalu ahli maksiat, disusul kemudian orang-orang fasiq.
Sebagian besar orang kafir tertipu oleh masalah-masalah duniawi dan tertipu dengan dzatnya Allah.

     Tertipunya mereka dalam masalah duniawi dapat dilihat dari kebera-daan mereka di dunia ini yang lebih suka mengumpulkan materi duniawi dan melalaikan masalah ukhrowi. Bagi mereka dunia adalah kenyataan yang sedang mereka hadapi dan merupakan sebuah kepastian. Sedangkan akhirat bagi mereka masih semu dan tidak nyata. Dalam benak mereka, “Buat apa mencari sesuatu untuk hal-hal yang masih tidak jelas keberadaannya.” “Sesuatu yang sudah pasti (yakin) saat sekarang ini (dunia) itu lebih baik dari pada sesuatu yang tidak pasti (syak) di kemudian hari (akherat).”

      Untuk menangani penyakit ini ada dua alternatif pengobatan. Pertama, memberikan keyakinan akan kebenaran iman kepada Allah. Kedua, memberikan bukti konkrit akan kebenaran keimanan kepada Allah dan semua anggapan mereka sangat salah dan keliru. Penanganan dengan cara yang pertama, artinya orang tersebut harus memiliki keyakinan seyakin-yakinnya akan kebenaran firman Allah : “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (Q.S. An-Nahl : 96)

       Dan cara inilah yang dipakai oleh Nabi Muhammad saw. untuk menaklukkan jiwa-jiwa materalistis yang dimiliki kabilah-kabilah Arab masa itu. Bahkan mereka tidak meminta dalil-dalil yang melebihi akan hal itu.

      Penanganan dengan cara yang kedua artinya dengan memberi pengertian bahwa apa yang ada dalam benak mereka itu salah. Logika-logika yang menjadi pembenar argumen mereka adalah rekayasa dan muslihat syetan untuk mengela-buhi mangsanya. Analogi yang diberikan syetan sebagaimana dalam anggapan mereka itu mencerminkan dua hal:

1. Dunia adalah kenyataan sekarang dan akherat adalah kenyataan di masa yang akan datang. Pemikiran ini sangat benar.
2. Kenyataan sekarang (dunia) itu lebih baik dari pada kenyataan yang akan datang (akhirat). Pemikian inilah yang sangat salah.

      Yang perlu diluruskan adalah tentang anggapan mereka, “Akherat itu belum pasti (syak).” Hal ini sangat luar biasa salahnya. Karena ini merupakan prinsip dan ideologi seorang mukmin. Dalam hal ini kesalahan mereka dapan diluruskan melalui dua pengertian. Pertama, keimanan dan mentasdiqkan (membenarkan) hal tersebut (kenyataan akherat) adalah sebagai bentuk taqlid (ikut) kepada para nabi dan ulama. Keimanan dengan model demikian memang identik dengan keimanan seorang awwam. Namun demikian ia bisa mengikis habis perasaan ghurur yang muncul.

      Mereka tak ubahnya seperti pasien yang tidak tahu obat penyakitnya. Sehingga dia akan menurut saja pada resep dokter. Dia tidak pernah punya keraguan akan benar tidaknya resep tersebut. Karena baginya mereka sudah punya kredibilitas tinggi dan resep yang mereka buat itu sudah berdasar konsensus (ijma’) tim medis. Sehingga keraguan akan kemampuan dokter dengan sendirinya akan hilang. Dan jika dalam kondisi demikian dia masih tidak percaya pada dokter dan lebih mempercayai dirinya atau bahkan tukang sampah yang tidak mengerti apa-apa tentang ilmu kedokteran, maka dialah hakekatnya seorang yang tertipu akan kebodo-hannya sendiri.

      Tertipu dengan dzatnya Allah itu bisa terjadi pada orang-orang mukmin juga kafir. Seorang mukmin biasanya beranggapan bahwa keimanan yang dimilikinya itu sudah cukup untuk mengantarkan dirinya pada ampunan Allah. Ia tidak menyadari bahwa itu adalah bentuk penipuan terhadap dirinya sendiri. Allah Maha Pengampun. Itu memang sangat benar. Semua orang mukmin juga pasti diampuni Allah. Itu juga benar. Yang tidak benar adalah jika beranggapan bahwa dengan keima-nan saja itu sudah cukup untuk mendapatkan maghfirohnya Allah. Karena yang perlu dicatat adalah bahwa di dalam Al Qur’an semua janji Allah untuk memberikan ampunan kepada seorang mukmin adalah apabila dia juga mau beramal sholeh. Tidak hanya berbekal keimanan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar