SUNNAH KHULAFAUR RASYIDIN
Rupanya pemahaman
bahwa tidak semua bid’ah itu sesat telah dipahami oleh para sahabat. Ada beberapa macam soal
keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Nabi saw. tetapi diadakan oleh para sahabat, Khalifah-khalifah Rasyidin, yaitu
Sayidina Abu Bakar, Umar, Utsman dan
Ali ra. Semuanya tidak dapat dikatakan bid’ah dhalalah (yang sesat),
tetapi adalah bid’ah hasanah (yang baik).
Kalau
seorang Khalifah Rasyidin menggariskan sesuatu amal ibadah, maka kita harus mengikutinya dan mengamalkan karena sesuatu
yang digariskan oleh Khalifah Rasyidin pada hakikatnya pasti datangnya dari
Rasulullah saw juga karena Khalifah Rasyidin itu adalah orang yang selalu
bergaul dengan Nabi saw Berdasarkan hadits di bawah ini :
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفآءِ الْمَهْدِيِّـيْنَ الرَّاشِدِيْنَ
“Maka wajib atasmu memegang sunnahku dan sunnah Khalifah
Rasyidin yang diberi hidayat”. (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam hadits ini terang dan jelas bahwa Nabi saw.
memerintahkan kepada umat muslimin supaya mengikuti sunnah Nabi dan
sesudah Nabi wafat supaya mengikuti juga
sunnah Khalifah Rasyidin. Hal ini dapat difahami karena Khalifah Rasyidin adalah orang yang paling dekat kepada
Nabi, bergaul dengan Nabi dalam waktu suka
dan duka serta mendengar dan melihat langsung dari Nabi.
Orang yang tidak mau mengikuti sunnah Khalifah
Rasyidin, bukan saja sekedar tidak mengikuti Khalifah Rasyidin, tetapi
juga ia sudah menentang dan tidak mengikuti Nabi
saw Oleh karena itu sunnah Khalifah Rasyidin bukanlah bid’ah dhalalah,
tetapi bid’ah hasanah.
Dalam hadits lain
Rasulullah saw bersabda :
إِقْتَدُوْا بِاللَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Ikutilah dua orang sesudah aku wafat, yaitu Abu Bakar dan
Umar”. (H.R. Tirmidzi).
Banyak
sekali hal-hal yang dibuat oleh Khalifah Rasyidin dalam agama Islam yang belum
dikenal pada zaman Nabi, tetapi diterima baik oleh umat Islam di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia,
antara lain :
1. MEMBUKUKAN AL-QUR’AN
Dulu pada zaman Nabi
ayat-ayat Al-Qur’an ditulis di atas pelepah tamar, tembikar, tulang-tulang,
batu putih dan lain-lain yang bisa ditulis, disamping dihafal oleh para
sahabat. Kemudian pada zaman Khalifah Sayidina Abu Bakar dimulai membukukannya.
Membukukan ini adalah suatu bid’ah karena hal demikian tidak dikenal
pada zaman Nabi, tetapi hal ini adalah bid’ah yang baik.
Dalam
kitab shahih Bukhari disebutkan :
أَنَّ زَيْدَابْنَ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ : أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُابْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ. قاَلَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : إِنَّ عُمَرَ أَتَانِيْ فَـقَالَ : إِنَّ الْقَتْلَ قَدِاسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَ إِنِّيْ اَخْشٰى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلَ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبُ كَثِيْرٌ مِنَ الْقُرَّاءِ وَ إِنِّيْ أَرٰى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ، قُلْتُ لِعُمَرَ : كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قاَلَ عُمَرُ : هَذِهِ وَاللهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِيْى حَتّٰى شَرَحَ اللهُ صَدْرِيْ لِذٰلِكَ. وَرَأَيْتُ فِى ذَلِكَ الَّذِيْ رَاٰى عُمَرُ. قاَلَ زَيْدٌ، قاَلَ أَبُوْ بَكْرٍ: إِنَّكَ رَجُلٌ شّابٌّ عَاقِلٌ لاَ نَـتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الوَحْيِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَـتَـبَّعِ لْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ. فَوَاللهِ لَوْ كَانُوْا كَلَّـفُوْنِيْ نَـقْلَ جَبَلٍ مِنَ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْـقَلَ إِلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِيْ بِهِ مِنْ جَمْعِ لْقُرْآنِ، كَيْفَ تَفْعَلُوْنَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ : هُوَ وَاللهِ خَيْرٌ. فَلَمْ يَزَلْ أَبُوْ بَكْرٍ يُرَاجِعُنِيْ حَتّٰى شَرَحَ اللهُ صَدْرِيْ لِلَّذِيْ شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَـتَـبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنَ الْعَسَبِ وَاللِّحَافِ وَصُدُوْرِ الرِّجَالِ الْحَدِيْثِ.
“Bahwasanya Zaid
bin Tsabit ra berkata : Abu Bakar Shiddiq (khalifah pertama) memanggil saya sesudah terjadi
peperangan Yamamah, dimana banyak sahabat-sahabat
Nabi saw. mati syahid. Saya dapati di hadapan beliau ada Sayyidina Umar
bin Khaththab. Berkata Abu Bakar ra : Sesungguhnya Umar mendatangiku dan mengatakan kepada saya bahwa banyak ahli-ahli
Qur’an (yang menghafal Al-Qur’an) wafat dalam peperangan yamamah. Saya hawatir kalau-kalau mereka banyak yang wafat
dalam medan-medan perang yang lain, sehingga ayat Qur’an bisa hilang.
Umar mendesak kepada saya supaya mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf,
lalu saya berkata kepadanya : Bagaimana engkau akan membuat suatu pekerjaan yang tidak dibuat oleh Rasulullah? Umar
menjawab, demi Allah. Pekerjaan ini
baik. Umar selalu meyakinkan saya sampai Allah menjernihkan dada saya dan saya setuju, dan akhirnya saya
sependapat dengan Umar. Berkata Zaid, berkata Abu Bakar kepadaku :
Engkau seorang pemuda pintar yang dipercaya.
Engkau pada masa Nabi saw. masih hidup menjadi penulis wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasulnya. Cobahlah kumpulkan
wahyu itu. Demi Allah (jawab Zaid), kalau
engkau perintahkan saya untuk memindahkan sebuah gunung dari beberapa
gunung, barang kali tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan
Al-Qur’an. Bagaimana bisa membuat sesuatu yang tidak dibuat Rasulullah saw? Abu
Bakar mendesak, Demi Allah ini baik. Maka
Abu Bakar selalu meyakinkan saya, kata Zaid. Sehingga Tuhan membukakan
hati saya sebagaimana hati Abu Bakar dan Umar. Maka saya cari ayat-ayat
Al-Qur’an itu dan saya kumpulkan di mana pada mulanya ditulis di atas pelapah
tamar, batu-batu putih dan yang ada di dalam dada para sahabat-sahabat Nabi
saw. (H.R.
Bukhari – Kitab Fathul Bari).
Bila kita perhatikan konteks di atas, Abu Bakar
Ash-Shiddiq ra mengakui
dengan ucapan sampai Allah menjernihkan dada saya dan saya setuju, dan
akhirnya saya sependapat dengan Umar. Hatinya jernih menerima hal yang baru
(bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Al-Qur’an, karena sebelumnya
Al-Qur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tetapi terpisah-pisah di hafalan
sahabat, pelapah tamar, batu-batu putih, kulit unta dan lain-lain. Ini adalah bid’ah hasanah, dan mereka
berdualah yang memulainya.
Bid’ah yang baik (hasanah),
adalah yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan Muslimin. Karena dengan
adanya bid’ah hasanah di atas, maka semakin mudah bagi kita untuk membaca,
mempelajari bahkan untuk menghafalkan Al-Qur’an.
Sekarang kalau kita tarik mundur
sejarah Islam ke belakang, apa kiranya yang akan terjadi pada perkembangan
sejarah Islam, bila Al-Qur’an tidak dibukukan oleh para sahabat? Boleh jadi
Al-Qur’an masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit unta, di hafalan para
sahabat, sehingga akan muncul baribu-ribu versi Al-Qur’an di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan
membukukannya dengan riwayat masing-masing, maka hancurlah Al-Qur’an dan
hancurlah Islam. Namun dengan adanya bid’ah hasanah, sekarang kita masih
mengenal Al-Qur’an secara utuh dan hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah
Islam ini kokoh dan abadi. Jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah
membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas hal-hal baru yang
berupa kebaikan (bid’ah hasanah), mesti kelak akan muncul, dan beliau
saw telah melarang hal-hal baru yang berupa keburukan (bid’ah dhalalah).
Dari hadits di atas, nampak bahwa menuliskan
Al-Qur’an dalam satu mushaf adalah sunnah
Khalifah Rasyidin yang belum pernah dikenal pada zaman Nabi. Meskipun
demikian umat Islam di dunia ini wajib menerima kitab suci Al-Qur’an yang dubukukan seperti yang ada pada saat
ini meskipun pembukuannya ini dikatakan bid’ah.
2. SHALAT TARAWIH
Bahkan seorang
sahabat terkemuka, Khalifah kedua dalam Islam, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra. (Umar bin Khaththab bin Nufail
Al-‘Adawi, khalifah kedua, mertua Rasulullah
saw termasuk dari 10 sahabat yang
dijamin masuk surga. Beliau adalah orang yang pertama kali mendapat gelar Amirul Mukminin. Meriwayatkan 539 hadits.
Gugur sebagai syuhada pada tahun 23 H dalam usia 63 tahun dan dimakamkan
di kamar Rasulullah saw. di samping makam beliau saw.) pernah mencetuskan istilah bid’ah
baik untuk amalan yang beliau susun, yaitu shalat tarawih berjama’ah di
masjid selama bulan Ramadhan dengan seorang imam. Imam Bukhari dalam kitab shahihnya
menyebutkan :
عَنْ
عَبْدِ الَرَّحْمٰنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْتُ مَعَ
عُمَرَابْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ
لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ إِلىَ الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ
مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّى الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّى بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ
فَقَالَ عُمَرُ إِنِيْ أَرٰى لَوْ
جَمَعْتُ هٰؤُ لآءِ عَلٰى قَارِءٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ
فَجَمَعَهُمْ عَلٰى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرٰى
وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هٰذِهِ
وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ
اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ.
“Dari Abdurrahman bin
Abdul Qari ia berkata, pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar menuju masjid bersama Umar bin
Khaththab ra. Di sana
(tampak) masyarakat sedang menunaikan shalat (tarawih) secara berkelompok
terpisah-pisah. Ada
yang shalat sendiri ada pula yang shalat berjamaah bersama sekelompok orang.
Pada saat itulah Umar ra. berkata : Menurutku, andaikata semua orang ini
kupersatukan di bawah pimpinan seorang imam yang hafal Al-Qur’an tentu akan
lebih baik. Beliau bertekat untuk mewujudkan
niatnya. Akhirnya beliau persatukan mereka di bawah pimpinan Ubay bin
Ka’ab. Di malam lain, aku keluar menuju masjid bersama Umar ra. saat masyarakat
sedang menunaikan shalat (tarawih) berjamaah dengan imam mereka yang hafal
Al-Qur’an. (Ketika menyaksikan pemandangan
tersebut) berkatalah Umar ra.: Inilah sebaik-baik bid’ah. Tetapi
menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawaih
di awal malam. (H.R. Bukhari dan
Malik).
Rasulullah
saw tidak pernak menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya
melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula
melakukannya secara rutin setiap malam.Tidak pula mengumpulkan mereka untuk
melakukannya. Demikian pula pada masa
Khalifah Abu Bakar. Kemudian Umar
mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang
imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau
lakukan ini tergolong bid’ah, tetapi bid,ah hasanah, karena itu
beliau mengatakan “Inilah sebaik-baik bid’ah”.
Dengan jelas dihadapan para sahabat. Sayidina Umar
ra. mengucapkan Inilah
sebaik-baik bid’ah. Ucapan beliau ini merupakan salah satu bukti tidak
semua bid’ah sesat, hanya bid’ah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Haditslah yang sesat.
3. DUA ADZAN DALAM SHALAT JUM’AT
Dalam kitab shahih
Bukhari disebutkan :
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ
قَالَ : كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ
عَلَى الْمِنْبَرِ عَلىٰ عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ أَبِى بَكْرٍ وَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَلَمَّا
كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّا لِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ، وَهِيَ دَارٌ
فِى سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ
“Dari Saib bin Yazid ia berkata: Adalah adzan diwaktu Jum’at
permulaannya apabila duduk imam
di atas mimbar pada zaman Nabi, pada masa Abu Bakar dan Umar ra ketika zaman
Utsman ra di mana orang sudah bertambah
banyak maka beliau (Sayyidina Utsman) menambah adzan yang ketiga diatas zaura, yaitu nama tempat di pasar
Madinah”. (H.R.
Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i,
Ibn Majah, Ahmad dan Ibn Khuzaimah).
Hadits
ini menyatakan bahwa pada zaman Nabi dan masa Khalifah Abu Bakar dan Umar ra.
adzan shalat Jum’at ada dua kali (satu adzan dan iqamat). Kemudian setelah
manusia berkembang ditambah adzan yang ketiga (sekarang dinamai adzan pertama)
dalam shalat Jum’at. Dengan demikian maka adzan yang pertama dalam shalat
Jum’at itu adalah bid’ah hasanah yang diadakan oleh Khalifah
Rasyidin Sayyidina Utsman, yang kita
diperintahkan oleh Nabi untuk mengikutinya. Barang siapa yang tidak mau
mengikuti sunnah Khalifah Rasyidin, berarti tidak mengikuti sunnah Nabi saw.
3. REDAKSI SHALAWAT NABI
Syekh Ibn Qayyim Al-Jauziyah, murid terdekat Syekh Ibn Taimiyah, imam dan panutan orang-orang yang sering (gemar)
menuduh bid’ah kepada orang lain yang melakukan kegiatan yang tidak pernah di lakukan
Nabi, Beliau meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi saw yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf, dalam
kitabnya Jala’ Al-Afham fi Al-Shalat wa Al-Salam ‘ala Khair
Al-Anam saw, antara lain adalah :
A. Hadits Abdullah bin Mas’ud ra
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ : إِذَا صَلَّيْتُمْ
عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَحْسِنُوا
الصَّلاَةَ عَلَيْهِ، فَإِنْكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ لَعَلَّ ذَلِكَ يُعْرَضُ
عَلَيْهِ، فَقَالُوْا لَهُ : فَعَلِّمْنَا، قَالَ : قُوْلُوْا : اللهم اجْعَلْ
صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتِكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ اْلمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ
الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ
الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللهم ابْعَثْهُ مَقَامًا
مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ.
“Dari
Abdullah bin mas’ud ra berkata : Apabila kalian bershalawat kepada
Rasulullah saw, maka buatlah redaksi shalawat yang bagus kepada beliau, siapa
tahu barang kali shalawat kalian iitu
diberitahukan kepada beliau. Mereka bertanya : Ajari kami cara shalawat yang
bagus kepada beliau. Ibnu Mas’ud menjawab :
Katakan, ya Allah jadikanlah segala shalawat, rahmat dan berkah-Mu
kepada sayyid para Rasul, pemimpin orang-orang
yang bertakwa, pamungkas para Nabi, yaitu Muhammad hamba dan Rasul-Mu,
pemimpin dan pengarah kebaikan dan rasul yang membawa rahmat. Ya Allah anugerahilah baliau maqam terpuji yang menjadi harapan
orang-orang terdahulu dan orang-orang yang
terkemudian. Hadits shahih ini
diriwayatkan oleh Ibn Majah, Abdurrazzaq, Abu Ya’la, Thabrani, dan juga
disebutkan oleh Ibn Qayyim (ulama Wahhabi) dalam kitamnya Jala’ Al-Afham halaman 36 dan 72.
B. Hadits Abdullah bin Abbas ra
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ اللهم تَقَبَّلْ شَفَاعَةَ مُحَمَّدٍ الْكُبْرَى وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ
الْعُلْيَا وَأَعْطِهِ سُؤْلَهُ فِى الْآخِرَةِ وَالْأُوْلَى كَمَا آتَيْتَ
إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى
“Dari
Ibnu Abbas ra apabila membaca shalawat kepada Nabi saw beliau berkata: Ya Allah kabulkanlah syafaat Muhammad
yang agung, tinggikanlah derajatnya
yang luhur, dan berilah permohonannya di dunia dan di akhirat
sebagaimana Engkau kabulkan permohonan Ibrahim dan Musa”. Hadits ini diriwayatkan oleh Abd bin Humaid, Isma’il
Al-Qadhi. Hadits ini juga disebutkan oleh Ibn Qayyim (ulama
Wahhabi) dalam kitamnya Jala’
Al-Afham halaman 76. Al-Hafidz
Al-Sakhawi mengatakan dalam Al-Qaul Al-Badi’ halaman 46, sanad hadits
ini jayyid, kuat dan shahih.
C. Hadits Ali bin Abi Thalib ra
عَنْ شَلاَمَةَ الْكِنْدِيِّ قَالَ : كَانَ عَلِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُعَلِّمُ النَّاسَ الصَّلاَةَ عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : اللهم
دَاحِيَ الْمَدْحُوَّاتِ، وَبَارِئَ الْمَسْمُوْكَاتِ، وَجَبَّارَ الْقُلُوْبِ
عَلَى فِطْرَتِهَا شَقِيِّهَا وَسَعِيْدِهَا، اجْعَلْ شَرَائِفَ صَلَوَاتِكَ
وَنَوَامِيَ بَرَكَاتِكَ وَرَأْفَةَ تَحَنُّنِكَ، عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ
وَرَسُوْلِكَ، اْلفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ، وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ
وَالْمُعْلِنِ الْحَقَّ بِالْحَقِّ، وَالدَّامِغِ لِجَيْشَاتِ اْلأَبَاطِيْلِ
كَمَا حُمِّلَ، فَاضْطَلَعَ بِأَمْرِكَ بِطَاعَتِكَ، مُسْتَوْفِزًا فِى
مَرْضَاتِكَ، بِغَيْرِ نَكْلٍ فِى قَدَمٍ وَلاَ وَهْيٍ فِى عَزْمٍ، وَاعِيًا
لِوَحْيِكَ، حَافِظًا لِعَهْدِكَ، مَاضِيًا عَلَى نَفَاذِ أَمْرِكَ، حَتَّى
أَوْرَى قَبَسًا لِقَابِسٍ، آلآءَاللهِ تَصِلُ بِهِ أَسِبَابَهُ، بِهِ هُدِيَتِ
اْلقُلُوْبُ بَعْدَ خَوْضَاتِ اْلفِتَنِ وَاْلإِثْمِ، وَأَبْهَجَ مُوْضِحَاتِ
الْأَعْلاَمِ وَنَائِرَاتِ اْلأَحْكَامِ وَمُنِيْرَاتِ اْلإِسْلاَمِ، فَهُوَ
أَمِيْنُكَ الْمَأْمُوْنُ وَخَازِنُ عِلْمِكَ الْمَخْزُوْنِ وَشَهِيْدُكَ يَوْمَ
الدِّيْنِ وَبَعِيْثُكَ نِعْمَةً وَرَسُوْلُكَ بِالْحَقِّ رَحْمَةً، اللهم افْسَحْ
لَهُ فِى عَدْنِكَ وَاجِزِهِ مُضَاعَفَاتِ الْخَيْرِ مِنْ فَضْلِكَ لَهُ
مُهَنَّئَاتِ غَيْرِ مُكَدَّرَاتِ مِنْ فَوْزِ ثَوَابِكَ الْمَحْلُوْلِ وَجَزِيْلِ
عَطَائِكَ الْمَعْلُوْلِ اللهم أَعْلِ عَلَى بِنَاءِ النَّاسِ بِنَائَهُ
وَأَكْرِمْ مَثْوَاهُ لَدَيْكَ وَنُزُلَهُ وَأَتْمِمْ لَهُ نُوْرَهُ وَاجْزِهِ
مِنِ ابْتِعَاثِكَ لَهُ مَقْبُوْلَ الشَّهَادَةِ وَمَرْضِيَّ الْمَقَالَةِ ذَا
مَنْطِقٍ عَدْلٍ وَخُطَّةٍ فَصْلٍ وَبُرْهَانٍ عَضِيْمٍ.
“Dari
Salamah Al-Kindi berkata : Ali bin Abi Thalib ra mengajarkan kami cara
bershalawat kepada Nabi saw dengan berkata : Ya Allah, pencipta bumi yang
menghampar, pencipta langit yang tinggi, dan penuntun hati yang celaka dan yang
bahagia pada ketetapannya, jadikanlah shalawat-Mu yang mulia, berkah-Mu yang
tidak terbatas dan kasih sayang-Mu yang lembut pada Muhammad hamba dan
Rasul-Mu, pembuka segala hal yang tertutup, pamungkas yang terdahulu,
penolong agama yang benar dengan kebenaran dan penakluk bala tentara
kebathilan seperti yang dibebankan padanya,
sehingga ia bangkit membawa perintah-Mu, dengan tunduk kepada-Mu, siap
menjalankan ridha-Mu, tanpa gentar dalam semangat dan tanpa kelemahan
dalam kemauan, sang penjaga wahyu-Mu, pemelihara janji-Mu dan pelaksana
perintah-Mu sehingga ia nyalakan cahaya kebenaran pada yang mencarinya,
jalan-jalan nikmat Allah terus mengalir pada ahlinya, hanya dengan Muhammad
hati yang tersesat memperoleh petunjuk
setelah menyelami kekufuran dan kemaksiatan, ia (Muhammad) telah
memperindah rambu-rambu yang terang, hukum-hukum
yang bercahaya dan cahaya-cahaya Islam yang menerangi, dialah (Muhammad)
orang jujur yang dipercaya oleh-Mu dan penyimpan ilmu-Mu yang tersembunyi, saksi-Mu di hari kiamat, utusan-Mu yang membawa
nikmat, Rasul-Mu yang membawa rahmat dengan kebenaran. Ya Allah, luaskanlah
surga-Mu baginya, balaslah dengan kebaikan yang berlipat ganda dari
anugerah-Mu, yaitu kelipatan yang mudah dan bersih, dari pahala-Mu yang dapat
diraih dan anugerah-Mu yang agung dan tidak pernah terputus. Ya Allah, berilah
dia derajat tertinggi di antara manusia, muliakanlah
tempat tinggal dan jamuannya di surga-Mu, sempurnakanlah cahayanya,
balaslah jasanya sebagai utusan-Mu dengan kesaksian yang diterima, ucapan yang
diridhai, pemilik ucapan yang lurus, jalan pemisah antara yang benar dan yang
bathil dan hujjah yang kuat”. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Jarir, Sa’id
bin Manshur, Ibn Abi Ashim, Ya’qub bin Syaibah, Thabrani. Menurut Al-Hafidz Ibn
Katsir, redaksi shalawat ini populer dari Ali bin Abi Thalib ra.
D. Shalawat Al-Imam Asy-Syafi’i
Abdullah bin Al-Hakim berkata : Aku
bermimpi bertemu Al-Imam Asy-Syafi’i setelah beliau meninggal. Aku bertanya
: Bagaimana perlakuan Allah
kepadamu? Beliau menjawab : Allah
mengasihiku dan mengampuniku, lalu aku bertanya kepada Allah : Dengan
apa aku memperoleh derajat ini? Lalu ada orang yang menjawab : Dengan
shalawat yang kamu tulis dalam kitab Al-Risalah :
صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَدَدَمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ
وَعَدَدَمَا غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ اْلغَافِلُوْنَ
“Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada Muhammad sejumlah
ingatan orang-orang yang berdzikir kepada-Nya dan sejumlah kelalaian orang-orang
yang lalai kepada-Nya”.
Abdullah bin Al-Hakim berkata : Pagi
harinya aku lihat kitab Al-Risalah, ternyata shalawat di dalamnya sama dengan
yang aku lihat dalam mimpiku. Kisah ini diriwayatkan oleh banyak ulama
seperti oleh
Ibn Qayyim (ulama Wahhabi) dalam kitamnya Jala’ Al-Afham halaman 230.
Hadits-hadits di atas, dan ratusan riwayat lain dari
ulama salaf dan ahli hadits yang tidak disebutkan di sini, dapat mengantarkan
kita pada beberapa kesimpulan :
Pertama, dalam Islam tidak ada ajaran yang mengajak meninggalkan
shalawat-shalawat atau doa-doa yang disusun oleh para ulama dan auliya seperti Shalawat Al-Fatih, Munjiyat,
Nariyah, Thibbul Qulub, Badar dan lain-lain. Sejak generasi
sahabat Nabi saw kita dianjurkan untuk menyusun
shalawat yang baik kepada Nabi saw sebagai tanda kecintaan dan ekspresi keta’dziman kita kepada beliau.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud ra, Abdullah bin
Abbas ra, Ali bin Abi Thalib ra, Al-Imam Asy-Syafi’i dan ulama-ulama
sesudahnya. Dengan demikian, ajakan Wahhabi
agar meninggalkan shalawat dan doa yang disusun oleh para ulama dan
auliya, termasuk bid’ah madmumah (tercela) yang berangkat dari paradigma
Wahhabi yang anti bid’ah hasanah (baik), serta bertentangan dengan sunah Rasul
saw yang membolehkan dan memuji doa-doa yang
disusun oleh para sahabatnya. Di antaranya adalah sayyidina Ali bin Abi
Thalib ra, beliau adalah salah satu dari khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah saw sendiri memerintahkan kita agar mengikuti
sunnah khulafaur Rasyidin sebagaimana juga
dinukil oleh Al-‘Utsaimin (tokoh dan
ulama Wahhabi) dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah halaman 639.
Kedua ,
hadits-hadits di atas dapat mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para sahabat telah terbiasa menyusun doa-doa
dan bacaan shalawat kepada Nabi saw. Hal ini kemudia diteladani oleh para ulama
salaf yang shaleh dari kalangan ahli hadits hingga dewasa ini.
Kita
masih ingat dengan pernyataan seseorang yang mengaku-ngaku mantan Kiai NU,
yaitu H. Mahrus Ali dalam bukunya Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat &
Dzikir Syirik halaman 91 sebagai berikut : “Para sahabat yang fasih
berbahasa Arab, lihai berbicara bahasa Arab dan ahli sastra Arab pun tidak mau
membuat dan mereka-reka sendiri kalimat atau
bacaan shalawat untuk Rasulullah saw. Padahal bila mereka mau, tentunya mereka akan dengan mudah sekali
membuat bacaan tersebut”.
Tentu saja pernyataan di atas (H. Mahrus Ali)
merupakan kebohongan dan ketidaktahuan. Hal ini menjadi bukti yang
sangat kuat bahwa ia dan guru-gurunya bukan pengikut ahli hadits, karena
kitab-kitab hadits seperti kitab
standar hadits yang enam (Al-Kutub Al-Sittah) dan lain-lainnya telah
meriwayatkan bahwa tidak sedikit di antara sahabat yang menyusun dan
mereka-reka sendiri doa-doa yang mereka baca dalam ibadah shalat, haji dan
lain-lain. Dan telah di sebutkan di atas bahwa redaksi shalawat para sahabat
juga di riwayatkan oleh Ibnu Al-Qayyim (ideology kedua ajaran Wahhabi, yang
tentunya ulama kebanggaan H. Mahrus Ali sendiri)
dalam kitabnya Jala’ Al-Afham fi Al-Shalat wa Al-Salam ‘ala Khair
Al-Anam saw di beberapa halaman.
Di
antara alasan kaum Wahhabi menolak shalawat-shalawat yang menjadi tradisi kaum
Muslimin sejak generasi salaf yang shaleh, karena Wahhabi menganggap bahwa
shalawat-shalawat tersebut mengandung pujian kepada Nabi saw dengan kata-kata
seperti Al-Fatih lima ughliq (pembuka segala hal yang tertutup), Al-Hadi
ila shirathika Al-Mustaqim (pemberi petunjuk ke jalan yang lurus), thibbil
qulub wa dawa’iha (menjadi penyembuh dan mengobat hati)
dan lain-lain, yang mereka anggap sebagai bentuk kesyirikan dan kekufuran.
Tentu saja anggapan syirik dan kufur kaum
Wahhabi tersebut juga mengarah kepada sayyidina
Ali bin Abi Thalib ra dan para ulama ahli hadits yang menganjurkan membaca shalawat yang mengandung kalimat-kalimat
pujian kepada Nabi saw seperti
di atas.
Hal ini juga menjadi
inspirasi H. Mahrus Ali untuk membuat pernyataan dalam bukunya Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik
halaman 81, yaitu : “Saya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan Al-Fatih lima
ughliq (pembuka segala hal yang tertutup). Bagaimana perkataan ini tidak
terlepas dari syirik”.
Tentu saja ketidakmengertian H. Mahrus Ali
terhadap Al-Fatih lima
ughliq, karena dia bukan ahli hadits dan tidak merujuk kepada ahli hadits.
Ia hanya merujuk kepada kaum Wahhabi seperti Ibn Mani’, bin Baz dan lain-lain yang bukan pengikut ahli hadits.
Seandainya ia betul-betul mengikuti dan meneladani ahli hadits pasti
akan terjadi pencerahan pada dirinya dan dia akan mengetahui bahwasanya banyak
hadits yang mendukung kebolehan membaca shalawa-shalawat yang redaksinya tidak
berasal dari Nabi saw.
Dan untuk menjawab ketidakmengertian kaum Wahhabi
sekaligus juga H. Mahrus Ali, kita mencoba merujuk kepada Ibnu Al-Qayyim
(murid terdekat Syekh Ibn Taimiyah dan beliau adalah ideolog kedua ajaran
Wahhabi, yang tentunya ulama kebanggaan H. Mahrus Ali sendiri) dalam
kitabnya Zad Al-Ma’ad juz 1 halaman 84, yang meberikan uraian sangat
bagus tentang nama-nama Nabi saw, yaitu :
فَصْلٌ فِى أَسْمَائِهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكُلُّهَا نُعُوْتٌ لَيْسَتْ
أَعْلاَمًا مَحْضَةً لِمُجَرَّدِ التَّعْرِيْفِ بَلْ أَسْمَاءٌ مُشْتَقَّةٌ مِنْ
صِفَاتٍ قَائِمَةٍ بِهِ تُوْجِبُ لَهُ الْمَدْحَ وَالْكَمَالَ، فَمِنْهَا
مُحَمَّدٌ وَهُوَ أَشْهَرُهَا، وَمِنْهَا أَحْمَدُ، وَالْمُتَوَكِّـلُ،
وَالْمَاحِيْ، وَالْحَاشِرُ، وَاْلعَاقِبُ، وَالْمُقَفَّى، وَنَبِيُّ التَّوْبَةِ،
وَنَبِيُّ الرَّحْمَةِ، وَنَبِيُّ الْمَلْحَمَةِ، وَاْلفَاتِحُ، وَالْأَمِيْنُ،
وَالشَّاهْدُ، وَالْمُبَشِّرُ، وَالْبَشِيْرُ، وَالنَّذِيْرُ، وَالْقَاسِمُ،
وَالضَّحُوْكَ، وَالْقَتَّالُ، وَعَبْدُ اللهِ، وَالسِّرَاجِ الْمُنِيْرُ،
وَسَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ، وَصَاحِبُ لِوَاءِ الْحَمْدِ، وَصَاحِبُ الْمَقَامِ
الْمَحْمُوْدِ، وَغَيِرُ ذَلِكَ مِنَ الْأَسْمَاءِ، لِأَنَّ أَسْمَائَهُ إِذَا
كاَنَتْ أَوْصَافَ مَدْحٍ فَلَهُ مِنْ كُلِّ وَصْفٍ إِسْمٌ، وَأَمَّا إِنْ جُعِلَ
لَهُ مِنْ كُلِّ وَصْفٍ مِنْ أَوْصَافِهِ إِسْمٌ تَجَاوَجَتْ أَسْمَاؤُهُ
الْمِائَتَيْنِ كاَلصَّادِقِ وِالْمَصْدُوْقِ وَالرَّؤُوْفِ الرَّحِيْمِ إِلَى
أَمْثَالِ ذَلِكَ، وَفِى هَذَا قَالَ مَنْ قَالَ مِنَ النَّاسِ : إِنَّ لِلهِ
أَلْفَ اسْمٍ وَلِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلْفَ اسْمٍ قَالَهُ أَبَو الْخَطَّابِ بْنِ دِحْيَتَ وَمَقْصُوْدُهُ
الْأَوْصَافُ. (ابن القيم، زاد المعاد فى هدي خير العباد،
1/84)
“Bagian
penjelasan nama-nama Nabi saw. Semua nama-nama beliau adalah sifat-sifat
terpuji begi beliau, bukan sekedar nama yang tiada arti. Bahkan nama-nama beliau terambil dari sifat-sifat
terpuji dan kesempurnaan yang melekat
pada beliau. Di antara nama-nama beliau adalah Muhammad, dan nama ini yang paling populer, Ahmad,
Al-Mutawakkil (yang berserah diri
kepada Allah), Al-Mahi (penghapus kekufuran), Al-Hasyir (penghimpun umat manusia), Al-Aqib, Al-Muqaffa, Nabi pembawa
taubat, Nabi pembawa rahmat, Nabi
pembawa panji peperangan, Al-Fatih (pembuka segala yang tertutup),
Al-Amin (yang dipercaya), Al-Syahid (yang menjadi saksi), Al-Mubasysyir,
Al-Basyir (pembawa berita genbira), Al-Nadzir (pembawa peringatan), Al-Qasim (yang membagi-bagikan), Al-Dhahuk (selalu
tersenyum), Al-Qattal (selalu berperang), Abdullah (hamba Allah),
Al-Siraj Al-Munir lampu yang menerangi),
sayyid keturunan Adam, pemegang panji yang terpuji, pemilik derajat terpuji dan
nama-nama yang lain. Karena apabila nama-nama beliau adalah sifat-sifat
terpuji, maka dari setiap sifat terpuji, beliau
pasti memiliki nama. Dan apabila setiap sifat terpuji beliau dijadikan
nama, maka nama beliau akan melampaui dua ratus nama seperti Al-Shadiq (yang
jujur), Al-Mashiduq (yang dipercaya), Al-Ra’uf, Al-Rahim dan lain-lainnya.
Dalam konteks ini sebagian ulama yaitu Al-Hafidz Abu Al-Khaththab bin Dihyah
mengatakan, bahwa Allah memiliki seribu nama,
dan Nabi saw juga memiliki seribu nama. Dan maksud nama-nama tersebut
adalah sifat-sifat terpuji beliau. (Ibn
Al-Qyyim, Zad Al-Ma’ad juz 1 halaman 84 dengan disederhanakan).
Masih dalam ktab Zad Al-Ma’ad juz 1 halaman
84, Syek Ibn Qayyim (ulama Wahhabi) menafsirkan makna Al-Fatih sebagai
berikut :
وَأَمَّا الْفَاتِحُ فَهُوَ الَّذِيْ فَتَحَ اللهُ بِهِ بَابَ الْهُدَى
بَعْدَ أَنْ كَانَ مُرْتَجًا وَفَتَحَ بِهِ الْأَعْيُنَ الْعُمْيَ وَالْآذَانَ
الصُّمَّ وَالْقُلُوْبَ الْغُلْفَ وَفَتَحَ الله بِهِ أَمْصَارَ الْكُفَّارِ
وَفَتَحَ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ وَفَتَحَ بِهِ طُرُقَ الْعِلْمِ النَّافِعِ
وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَفَتَحَ بِهِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَالْقُلُوْبَ
وَالْأَسْمَاعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَمْصَارَ.
“Adapun
nama Al-Fatih, maksudnya adalah bahwa dengan perantara Nabi saw Allah telah
membukakan pintu petunjuk setelah sebelumnya tertutup,
membukakan mata yang buta, telinga yang tuli, hati yang tertutup, kota-kota negeri-negeri kafir, pintu-pintu surga ,
jalan-jalan ilmu yang manfaat, amal shaleh, membukakan dunia dan
akhirat, hati, pendengaran, penglihatan dan kota-kota dengan perantara Nabi
saw”. (Ibn Al-Qyyim, Zad Al-Ma’ad
juz 1 halaman 84).
Demikian
pula, kita akan dengan senag hati membaca Shalawat Thibbil Qulub yang
redaksinya berupa :
اللهم صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا،
وَعَافِيَةِ الْأَبْدَانِ وَشِفَائِهَا وَنُوْرِ الَأَبْصَارِ وَضِيَائِهَا
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
“Ya Allah curahkanlah shalawat dan salam kepada sayyidina
Muhammad, yang menjadi penyembuh
dan mengobat hati, penyehat badan dan penyembuhnya, juga menjadi cahaya dan
penenang hati, dan curahkan pula kepada keluarga dan sahabatnya”.
Dalam Shalawat Thibbil Qulub yang disusun
oleh Al-Imam Al-Dardir ini, terdapat beberapa kalimat pujian kepada Nabi
saw, seperti kalimat طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا (menjadi
penyembuh
dan mengobat hati). Lagi-lagi kalimat ini
dipersoalkan oleh orang yang mengaku-ngaku mantan Kiai Nu, yaitu H. Mahrus Ali yang menganggap sebagai
bentuk kesyirikan, dikarenakan ia tidak mempunyai pemahaman yang
mendalam tentang hal ini. Di samping anggapan tersebut sebenarnya sangat
bertentangan dengan pernyataan Ibn Taimiyah Al-Harrani (ideolog pertama faham
Wahhabi imam dan panutan H. Mahrus Ali
sendiri, dalam kitabnya Majmu’ Al-Fatawa juz 34 halaman 210 sebagai
berikut :
وَالْأَنْبِيَاءُ أَطِبَّاءُ الْقُلُوْبِ وَالْأَدْيَانِ. (ابن تيمية الحرني، مجموع الفتاوى : 34/210)
“Para Nabi adalah para
penawar/penyembuh hati dan agama”. (Ibn Taimiyah
Al-Harrani Majmu’ Al-Fatawa juz 34 halaman 210).
Dan
Syekh Ibn Qayyim pun dalam bagian kitabnya Zad Al-Ma’ad membuat bab
khusus yang berjudul Al-Thibb Al-Nabawi (penyembuhan Nabi saw), pada juz
4 halaman 6 terdapat pernyataan :
فَأَمَّا طِبُّ الْقُلُوْبِ فَمُسَلَّمَ إِلَى الرُّسُلِ صَلَوَاةُ اللهِ
وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ وَلاَ سَبِيْلِ إِلَى حُصُوْلِهِ إِلاَّ مِنْ جِهَتِهِمْ
وَعَلَى أَيْدِيْهِمْ.
“Adapun
penyembuhan hati, maka harus diserahkan kepada para Rasul shalawatullah wa
salamuhu ‘alaihim, Tidak ada jalan untuk memperoleh kesembuhan hati kecuali
melalui mereka dan di tangan mereka”.
Sedangkan pujian kepada Nabi saw dengan kalimat عَافِيَةِ الْأَبْدَانِ
وَشِفَائِهَا (penyehat badan dan penyembuhnya), adalah sesuai dengan sifat beliau yang dapat menyembuhkan orang yang sakit.
Al-’Utsaimin (tokoh dan ulama Wahhabi yang dikagumi oleh orang-orang yang membid’ahkan bershalawat dengan shalawat yang
redaksinya tidak dari Nabi termasuk dikagumi
juga oleh H. Mahrus Ali), beliau menyampaikan sebuah riwayat sebagai
berikut :
أَنَّ قَتَادَةَ بْنَ النُّعْمَانِ لَمَا جُرِحَ فِى أُحُدٍ نَدَرَتْ عَيْنُهُ
حَتَّى صَارَتْ عَلَى خَدِّهِ، فَجَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَهَا بِيَدِهِ، وَوَضَعَهَا فِى
مَكَانِهَا، فَصَارَتْ أَحْسَنَ عَيْنَيْهِ.
“Ketika Qatadah bin Al-Nu’man terluka dalam peperangan uhud,
salah satu matanya keluar sehingga
menggantung di pipinya. Lalu ia mendatangi Nabi saw, Kemudian Nabi saw
mengambil mata yang keluar itu dan meletakkannya pada tempatnya, sehingga pulih
dan menjadi salah satu matanya yang terbaik selama hidupnya”. (Al-‘Utsaimin, Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah
halaman 630).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar