Kamis, 06 Agustus 2015

SUMPAH PALSU




 
      Dalam kehidupan kita sehari-hari, rasanya tidak jarang kita temui perkataan-perkataan yang bernuansa sumpah, seperti demi Allah, demi Allah dan rasul-Nya, demi Tuhan, dan sebagainya yang diucapkan oleh seseorang untuk mendukung argumentasi/alasan-nya,  atau untuk mempertahankan penolakannya terhadap sesuatu yang dituduhkan kepadanya.

       Kemudian pertanyaan yang terlintas dalam benak  kita  adalah apakah perkataan semacam itu termasuk kategori sumpah atau tidak. Hal ini mengingat perkataan itu diawali dengan kata ‘demi’.

      Sumpah sendiri menurut fiqih adalah menggunakan nama-nama Allah swt. atau sifat-sifat-Nya untuk bersumpah. Sebagai contoh adalah : Demi Dzat yang mem-bolak-balikkan hati aku akan melakukan ini, Demi Dzat yang jiwaku di genggaman-Nya aku akan melakukan ini, Demi Allah aku akan melakukan ini, dan sejenisnya.

     Sumpah tidak syah kecuali dengan menyebut lafadz Allah, atau salah satu nama-Nya, ataupun salah satu sifat-Nya. “Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa rasulullah saw. pernah menjumpai Umar bin Khattab yang sedang bepergian di tengah kafilah bersumpah dengan (menyebut nama) bapaknya, lan-tas beliau bersabda : Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan (menyebut nama) bapak kalian,. Barang siapa bersumpah, maka bersumpahlah dengan (menyebut nama) Allah, atau diamlah.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

      Selain tidak syah sumpahnya, juga tergolong sebagai orang kafir bila kita bersumpah dengan selain nama Allah atau sifat-Nya. “Barang siapa bersumpah dengan (menyebut nama) Selai Allah, maka ia sungguh telah kafir atau musyrik.” (H.R. Turmudzi).

      Demikian juga tidak boleh bersumpah dengan menyebut agama selain Islam. “Barang siapa bersumpah dengan (menyebut) agama selain Islam dengan dusta dan sengaja, maka ia sebagai-mana yang ia katakan.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

      Sumpah itu ada tiga macam, yaitu :

1. Sumpah palsu, atau disebut (Yamin Ghamus).
2. Sumpa tanpa sengaja, atau disebut (Yamin laghwu).
3. Sumpah yang syah, atau disebut (yamin mun’aqidah).

A. Sumpah palsu, yaitu seseorang bersumpah dengan sengaja untuk berbohong, seperti perkataan : “Demi Allah saya beli sarung ini Rp. 400.000.” Padahal dia mem-belinya tidak seharga itu. Atau dia berkata : “Demi Allah sungguh aku telah melakukan hal ini.” Padahal dia tidak melakukannya.
     Sumpah ini tidak cukup dibayar dengan kaffarah (penebus). Akan tetapi pelakunya wajib bertobat dan memohon ampun kepada Allah swt. Hal itu karena sumpah palsu termasuk dosa besar. “Dosa-dosa besar (di antaranya) adalah : Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa (tak berdosa), dan sumpah palsu.” (H.R. Turmudzi).

     Apalagi kalau sumpah palsu itu dimaksudkan untuk mengambil  hak seorang muslim dengan cara yang tidak benar (bathil). “Barang siapa mengambil harta benda orang muslim dengan meng-gunakan sumpah maka Allah mengharamkannya memasuki surga dan diwajibkan masuk neraka. Ditanyakan oleh sahabat : Wahai rasulullah, sekalipun yang diambil itu sedikit. Rasulullah bersabda : Sekalipun siwak.” (H.R. Thabrani dan Hakim).

B.  Sumpah laghwu, yaitu sumpah yang biasa diucapkan oleh seseorang muslim tanpa unsur kesengajaan, seperti orang yang memperbanyak kata : “Tidak, demi Allah” atau “Ya demi Allah” dalam pembicaraannya. Hal ini berdasarkan ucapan Aisyah rah. “Sumpah laghwu adalah sese-orang berkata dirumahnya ‘Tidak, demi Allah” (H.R. Bukhari).
      Sumpah tersebut hukumnya berdosa, tetapi orang yang mengucapkannya tidak wajib membayar kaffarah, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an : “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (Q.S. Al-Maidah : 89).

C. Sumpah yang syah, yaitu sumpah yang niat awalnya dimaksudkan untuk sesuatu yang akan datang. Seperti seorang muslim berkata : “Demi Allah, sungguh aku akan melakukan hal ini.”  Atau “Demi Allah, sungguh tidak akan aku lakukan hal ini.”   Sumpah semacam ini pelakunya akan dikenai hukum (Allah) jika ia melanggar sumpahnya. Hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an di atas.

      Sumpah yang semacam ini, bila pelakunya melanggar sumpahnya, maka dia berdosa dan wajib membayar kaffarah untuk pelanggaran itu. Namun jika dia melakukan (merealisasikan) sumpahnya, hilanglah dosa dari pelanggaran itu.

Kaffarah sumpah 

      Barang sipa yang melanggar sumpah seperti di atas, maka kaffarahnya adalah salah satu dari tiga alternatif di bawah ini :

1. Memberi makan kepada 10 orang miskin, setiap orangnya 1 mud ( 6 ons ) makanan      pokok.
2. Atau memberikan kepada masing-masing orang pakaian yang cukup untuk ibadah (shalat), seperti sarung, mukena, dll.
3. Atau memerdekakan budak.

      Kemudian barang siapa yang tidak mampu melaksanakan salah satu dari 3 alternatif di atas, maka kaffarahnya harus berpuasa tiga hari berturut-turut jika mampu, jika tidak, berpuasa tiga hari secara terpisah. Tidak boleh membayar kaffarah dengan jalan berpuasa selagi mampu melak-sanakan salah satu dari 3 alternatif di atas. Firman Allah : “Maka kaffarah (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demi-kian itu, maka kaffarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarah sumpah-sumpahmu, bila kamu bersumpah (lalu melanggar).” (Q.S. Al-Maidah : 89).

      Barang siapa bersumpah tidak akan mengerjakan sesuatu, lalu ternyata dia melakukannya karena lupa atau khilaf (salah/tidak mengetahui akibatnya) atau dipaksa orang yang jabatan/ kedudukannya lebih tinggi dari dia. Maka tidak berdosa baginya dan tidak membayar kaffarah “Dicabut (beban taklif itu) dari umatku sebab kesalahan, kelu-paan, atau karena dipaksa melakukannya.” (H.R. Bukhari).

      Barang siapa bersumpah, lalu mengucapkan “Insya Allah” berarti dia telah melakukan penge-cualian, dan tidak dianggap me-langgarnya bila dia menyalahinya. “Barang siapa bersumpah dan mengucapkan perkecualian (Insya Allah), maka jika ia mau boleh merujuk sumpahnya, dan jika ia mau tinggalkan tanpa (dianggap) melanggar sumpahnya.” (H.R.  Ibnu Majah dan Nasa’I).

      Barang siapa yang bersumpah untuk melakukan sesuatu, lalu ia melihat ada yang lebih baik dari pada apa yang ia sumpahkan maka hendaklah ia meninggalkan sumpahnya dengan membayar kaffarah. “Barang siapa mengucapkan suatu sumpah lalu dia melihat selainnya lebih baik dari pada ia, maka hendaklah dia mengerjakan yang lebih baik itu, dan hendaklah dia menahan sumpahnya dengan membayar kaffarah.” (H.R. Muslim dan Turmudzi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar