Kamis, 06 Agustus 2015

MENGAMALKAN ILMU





     Dalam kitab tanbihul ghafilin karangan Al-Faqih Abu Laits Samarqandi banyak diterangkan mengenai beramal dengan menggunakan ilmu diantaranya adalah beliau meriwayatkan dari sanadnya Abu Dardak, katanya : “Tiada orang pandai tanpa belajar, dan bukanlah orang ‘alim jika tidak mengamalkan ilmunya.” Katanya pula : “Bahaya yang menimpa orang bodoh hanya satu kali, tetapi bagi yang mengerti tanpa melaksanakan pengertiannya sampai tujuh kali. Kelak di hari kiamat yang aku takuti bukan tuntutan ‘sejauh mana ilmu pengetahuanmu?’ tetapi ‘sampai sejauh mana kau mengamalkan ilmu pengetahuan itu?’
     
      Nabi Isa as. berkata : Orang yang dikenal besar namanya di alam malakut (malaikat) yaitu orang ‘alim yang mengamalkan serta mengajarkan ilmunya.”  Beliau juga berkata : “Tiada manfaatnya orang buta membawa lampu, yang dapat  mengambil manfaat justru orang lain. Dan tiada manfaat rumah gelap (di dalam), lampu dipasang di belakang. Dan apa perlunya membahas ilmu hikmah jika tidak untuk diamalkan?.”

     Al-Auza’i berkata : “Orang yang pandai mengamalkan ilmu yang dimiliki, niscaya diberi taufik untuk menimba (meraih) ilmu yang belum ia miliki.”

      Sahal bin Abdullah berkata : “Manusia semua dalam keadaan mati, kecuali ulama’. Dan mereka mabuk semuanya, kecuali yang mengamalkan ilmunya. Dan mereka semuanya tertipu (yang mengamalkan ilmunya itu), kecuali yang tulus ikhlas dan mereka pun khawatir.”

      Nabi saw. bersabda : “Hati-hati lah kamu, jangan duduk berdekatan dengan orang pandai, kecuali yang mengajakmu dari 5 hal ke 5 hal yang lain, yaitu :

1.  Dari keraguan menuju ke keyakinan
2.  Dari kesombongan menuju ke tawadhu’
3.  Dari permusuhan menuju per-damaian
4. Dari riya’ menuju ke ikhlas
5. Dari rakus harta menuju zuhud.”

      Telah diriwayatkan dari saidina Ali bin Abi Thalib, beliau berkata : “Orang pandai jika tidak mengamalkan ilmunya, orang enggan menimba ilmu darinya, sebab ilmunya tidak bermanfaat pada dirinya, sekalipun ia telah menghimpun ilmu sebanyak-banyaknya.”

       Pada zaman Bani Isra’il, ada orang menghimpun ilmu sejumlah 80 peti besar ilmu, lalu Allah memberitahu lewat nabi-Nya : “Seandainya engkau tambah lagi  dua kali lipat ilmu yang ada padamu, tetap tidak banyak arti bagimu, sepanjang engkau tidak mengamalkan 3 perkara, yaitu :

1. Jangan senang harta (dunia), karena ia bukanlah tempat pemukiman tetap bagi orang mukmin.
2. Jangan berkawan dengan syetan, karena ia bukan kawan orang beriman (mukmin).
3. Jangan menyakiti atau mengganggu kepada sesama mukmin, karena hal itu bukan sifat orang mukmin.”

      Nabi saw. bersabda : “Barang siapa menuntut ilmu berdasarkan 4 perkara, pasti masuk neraka, yaitu :

1. Menyaingi para ulama’.
2. Mempengaruhi orang-orang bodoh (dengan berdebat).
3.  Agar populer di masyarakat.
4. Menarik harta dari penguasa, kemulyaan atau pangkat dunia.”

      Ada 3 type (macam) ulama’ yaitu :
1. Yang  mengenal  Allah dan perintah-Nya, yaitu orang pandai yang takut kepada Allah (bertakwa  dengan sesungguh-nya) ketika melaksanakan hukum, perintah atau menjauhi larangan-Nya.
2.  Yang mengenal Allah tapi tidak kenal perintah-Nya, yaitu orang yang takut kepada Allah, tetapi buta masalah hukum, tidak mengerti mana yang halal dan mana yang haram, serta tidak tahu perintah-perintah-Nya.
3.  Yang mengenal perintah-Nya, tapi tidak kenal Allah, yaitu orang pandai hukum atau pandai dalam ilmu agama (Islam), tetapi tidak takut kepada-Nya.

     Sahabat bertanya kepada nabi : “Manakah manusia yang paling berbahaya? Beliau menjawab : Orang pandai ketika bejad moralnya (tidak berakhlak).” Jika sudah terjadi hal semacam ini, maka hancurlah alam sekelilingnya (masyarakat sekelilingnya).

      Ada seseorang berkata kepada Hasan Bashri : “Ulama’ fiqih setempat berpendapat demikian.” Lalu Hasan Bashri berkata : Sesungguhnya ulama’ fiqih itu adalah orang yang zuhud (tidak senang) harta dunia, dan ia sungguh-sungguh berharap pada akhirat, selalu ingat laku dosanya, tetap tekun beribadah. Jika para ulama’ disibukkan menghimpun harta halal, maka masyarakat awam akan menyantap harta syubhat, dan jika para ulama’ menyantap harta yang syubhat, maka masyarakat awam menyantap yang haram, apalagi jika para ulama’ telah berani menyantap harta yang haram, maka masyarakat awam menjadi kafir.”

      Abu Laits samarqandi membe-rikan penjelasan tentang kete-rangan Hasan Basri di atas sebagai berikut : Karena jika ulama’ disibukkan menghimpun harta halal, maka masyarakat awam menirunya, padahal mereka tidak mengerti (batas halal-haram) akhirnya mereka terjebak pada syubhat. Dan jika para ulama’ menyantap yang syubhat lalu ditiru, padahal mereka tidak mampu membedakan syubhat dan haram, akhirnya mereka menerjang yang haram. Dan jika para ulama’ berani menerjang yang haram lalu ditiru, bahkan mereka menganggapnya (yang diperbuat ulama’ itu) halal, akhirnya mereka menjadi kafir, karena  mereka menghalalkan yang haram.

      Di hari kiamat, ada 3 macam orang yang sangat menyesal, yaitu :

1.  Majikan yang punya pelayan seorang shaleh, ia masuk surga, sedang majikannya terjerumus ke neraka.
2. Seorang hartawan yang telah bersusah payah menghimpun hartanya, tetapi zakatnya tidak dikeluarkan hingga ajal (mati) datang, lalu hartanya diwaris, dan oleh pewarisnya dibuat taat/beribadah, hingga mereka masuk surga karena harta itu, sedang ia terjerumus ke neraka.
3.  Seorang pandai yang mendidik masyarakat (anak didik)nya, tetapi ia melupakan pendidikan (ajaran) yang disampaikan, sehingga masyarakat selamat karena pendidikan (pelajaran) nya, sedang ia sendiri ter-jerumus ke neraka.

      Usamah bin Zaid bin Harits, dia berkata : “Saya mendengar rasulullah saw. bersabda : Pada hari kiamat (ketika kaum kafir telah dilemparkan ke dalam neraka), lantas seorang laki-laki didatangkan (dia adalah seorang mubalig yang muslim).  Lalu dilemparkan ke dalam neraka, lantas isi perutnya keluar lalu ia mengitari neraka itu sebagai mana keledai mengitari gilingan gandum. Maka penghuni neraka berkumpul padanya, lalu bertanya : Wahai Fulan ! Bukankah kamu (dahulu di dunia) memerintah kebajikan dan melarang kemungkaran? Dia menjawab : Ya, aku memerintah kebajikan, lantas aku tidak melakukannya dan aku mencegah kemungkaran, tapi aku sendiri melanggarnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

“Seorang itu tidak menjadi ‘alim (pandai) sehingga mengamalkan ilmunya." (H.R. Ibnu Hibban dan Baihaqi)

      Saidina Umar bin khattab ra. berkata : “Sesungguhnya setakut-takut apa yang kutakutkan atas umat ini (Islam) adalah orang munafik yang ‘alim (pandai).” Mereka bertanya “Bagaimanakah ia menjadi orang ‘alim yang munafik?.”  Umar ra. menjawab : “Ia pandai lidahnya, namun bodoh hati dan amalnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar