Sabtu, 08 Agustus 2015

Memahami makna jihad yang benar




       Jihad itu mengandung dua muatan makna, bahasa dan syariat. Makna jihad secara bahasa adalah kesulitan (masyaqah) (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari dan Naylul Awthar), atau juga mempunyai arti kesungguhan (juhd), kemampuan menanggung beban (thaqah) Jihad dalam aspek bahasa juga bermakna mencurahkan segala usaha atau tenaga untuk mem-peroleh tujuan tertentu. 
       Para ulama fiqih membahas makna jihad dalam arti syara’ (bukan dalam pengertian bahasa) dalam beberapa aspek, dari hukum berjihad, siapa yang wajib berperang, etika berperang, siapa yang wajib diperangi, keutamaan mati syahid dan lain sebagainya. Oleh karena itu pengertian jihad dalam arti syar’i harus dipahami oleh seluruh umat Islam. Jangan sampai pemaknaan jihad itu mengalami kerancuan dan pem-belokan, seperti yang sedang marak akhir-akhir ini. Sebagian kelompok menterjemahkan jihad dengan makna perang secara membabi buta, seperti halnya bom bunuh diri. Sebaliknya, kelompok lain memahami jihad dengan pemaknaan yang terkesan mengecilkan perang. Mereka lebih suka mengedepankan jihad dengan pengertian jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad melawan nafsu dan lain-lain dari pada jihad yang bermakna perang. Bahkan sebagian yang lain, jelas-jelas mengatakan bahwa jihad itu bukan perang, menurutnya, nash Al Quran menjelaskan perang dengan sebutan qital, bukan jihad. 
     Sedangkan yang implisit, tetapi tetap tidak bisa diartikan kecuali perang, antara lain: “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS. At Taubah:73)
      Ada pula nash-nash jihad yang mengandung pengertian selain peperangan, antara lain: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut : 69).
      Juga ada Hadits yang berbicara tentang jihad yang mengandung pengertian selain perang, yaitu: “Sayyidatina A’isyah bertanya kepada Nabi, ‘Adakah jihad bagi kaum wanita?’ ‘Rasulullah saw. bersabda: ‘Yaitu haji dan umrah.” (HR. Ahmad).
      Selain berperang memperta-hankan kedaulatan negaranya dari serangan musuh, dalam Islam juga dikenal dengan penaklukan terhadap negara-negara kafir yang memusuhi Islam, menghalangi dakwah dan membuat kerusakan di muka bumi. Perang yang bersifat menyerang ini hukumnya fardlu kifayah bagi umat Islam yang sudah baligh, laki-laki, merdeka, tidak cacat dan mempunyai biaya yang cukup untuk berperang dan cukup untuk keluarga yang ditinggalkannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Islam), yaitu dari orang-orang yang diberikan Al Kitab kepada mereka, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At Taubah:29).
      Sekilas, dengan pendekatan perang model kedua ini, Islam terkesan sebagai agama radikal dan penuh kekerasan. Seakan Islam adalah agama yang disebarkan dengan pedang dan cara-cara pemaksaan. Namun sebenarnya, Islam tidak tidak pernah memak-sakan keyakinan keberagamaan Islam kepada orang-orang non muslim. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 256).
      Penyerangan ini semata-mata bertujuan untuk kemaslahatan dan rahmat bagi kehidupan manusia. Selain itu, perang dengan menaklukkan atau menyerang darul harb (negara yang memusuhi Islam) atau kafir harb (kafir yang memusuhi Islam) ini harus melalui beberapa tahaban. Pertama, tawaran kepada mereka untuk tunduk terhadap kekuasaan Islam. Tahab kedua, jika menolak, mereka diminta membayar jizyah (pajak) dengan jaminan perlindungan keamanan dan hak mereka sama dengan kaum muslimin. Tahab ketiga, jika menolak, ditawarkan perang.
      Penyerangan atau penaklukan yang dilakukan oleh kaum muslimin ini sejatinya jauh berbeda dengan penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Mereka menaklukan negara-negara kecil dan lemah dengan tujuan menjajah, menin-das dan merampas, untuk semata-mata kepentingan sendiri. Jika misi kaum penjajah adalah penindasan dan pemerasan, sebaliknya, misi perang dalam Islam adalah menciptakan rahmatan lil alamin, mengembalikan manusia ke dalam agama dan kehidupan yang suci untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Akibatnya, negara-negara jajahan kaum kolonialis mengalami keter-belakangan, ketertindasan, kehancuran, dan kemiskinan, sebaliknya negara-negara taklukan tentara-tentara Islam justru mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat dalam segala aspek kehidupan, di bidang ekonomi maupun saint dan teknologi. Contohnya adalah penaklukan Mesir oleh Khalifah Umar bin Khattab, Andalusia oleh Thariq bin Ziyad dan lain-lain.
      Islam mensyari’atkan perang tapi penuh dengan etika. Hadits berikut ini sebagai buktinya: “Ketika mengutus panglima perang Rasulullah saw. berwasiat kepadanya dan seluruh pasukan agar bertaqwa dan berbuat baik. Rasulullah bersabda, “Berperanglah di jalan Allah dengan nama Allah (ikhlas). Perangilah orang kufur pada Allah. Janganlah kalian berkhiyanat. Janganlah kalian menipu. Janganlah kalian mencincang. Janganlah kalian membunuh anak-anak.” (HR. Tirmidzi).
      Etika berperang juga diajarkan oleh Khalifah Abu Bakar Shidiq ra. ketika mendelegasikan Usama bin Zaid ke Syam, “Janganlah kamu berkhianat, jangan menipu, jangan mencincang, jangan membunuh anak kecil, jangan membunuh orang tua, jangan membunuh perempuan, jangan menebang pohon kurma dan jangan pula membakarnya, jangan menebang pohon yang berbuah, jangan menyembelih kambing, lembu atau unta kecuali untuk dimakan. Jika kamu melewati kaum yang mengabdikan diri di gereja, maka biarkanlah mereka beserta pengabdiannya.” (Tafsir Ayatul Ahkam).
      Di sinilah letak seni keindahan perang dalam Islam. Dengan begitu tidak ada alasan menjatuhkan vonis bahwa Islam adalah agama radikal. Tidak ada celah menuduh Islam sebagai agama yang melegalkan segala bentuk kekerasan dan kesadisan. Justru sebaliknya, Islam adalah agama penebar rahmat (kasih sayang) bagi kehidupan alam semesta. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya:107)

1 komentar: