Kamis, 06 Agustus 2015

korupsi dalam pandangan Islam




      Mercie Elide, seorang teolog Rumania, pernah berkata : "Orang beragama adalah orang yang dapat membedakan mana yang suci dan mana yang tidak. Dan dia cenderung melakukan yang suci."
 
      Pernyataan ini menunjukkan, orang yang memiliki kesadaran beragama sejati, akan cenderung menjalankan ajaran agamanya (yang     memang    mencerminkan kesucian) dan meninggalkan yang tidak suci. Konsekuensinya, orang  yang  mengaku beragama, tapi justeru mempraktikkan perilaku tidak suci, semisal korupsi, tidak layak menyandang predikat "orang beragama." Sebab, apalah artinya beragama, bila perilakunya menyimpang dari semangat ajaran agama yang didewakan-nya. Ini tak ubahnya perilaku fasiq atau fajir; yakni melakukan kejahatan kemanusiaan dengan berlindung di balik ajaran suci agama. Tapi, itulah fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, masyarakat yang begitu mem-banggakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.

      Sungguh ironis! Beragama jalan terus, korupsipun jalan terus. Ini artinya, kita punya dualisme karakter; karakter orang beragama sekaligus penjahat agama. Itulah paradoks keberagamaan kita. Kenyataan ini mengisyaratkan, tingkat kesadaran beragama kita masih dilematis. Dan ini kenyataan yang sangat menyedihkan.

      Yang lebih telak lagi, bila kita 'umat Islam khususnya' mau merunut secara sadar, siapa yang melakukan kejahatan korupsi itu, kita akan ternganga. Kita sadar, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Pejabat-pejabat rolling group, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatisf, mayoritas muslim. Padahal, korupsi yang paling dahsyat, menggelora di sana. Apa artinya? Kaum muslimlah yang (diduga) paling rakus mengeruk uang rakyat dengan cara tidak elegan dan tidak sah. 

     Konsekuensinya, kaum muslimlah yang paling bertanggungjawab atas runtuhnya berbagai tatanan pemerintahan yang ada. Jelas, ini tamparan telak bagi Islam khususnya dan umat muslim umumnya. Karena, Islam mengajarkan untuk tidak menzalimi siapapun (apalagi rakyat banyak) dengan cara apapun. Dan korupsi merupakan sebentuk pen-dzaliman luar biasa dan berdampak dahsyat.

     Lagi-lagi, kenyataan ini menyiratkan, banyak kaum muslim telah melakukan "pengkhianatan" terhadap ajaran suci agamanya. Dalam al-Qur'an misalnya, ada ayat yang menyatakan ; "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (al-Ankabut; 45). 

      Dengan mamahami satu ayat ini dan mengamalkannya secara konsis-ten, seharusnya kita tidak terperosok dalam perilaku al-fahsya' (salah satunya korupsi). Tapi, toh kita tetap terperosok dalam lembah al-fahsya' itu. Ini menunjukkan, kesadaran kita terhadap ajaran yang diusung ayat ini begitu memprihatinkan. Ini baru satu ayat, belum ayat-ayat lain yang jumlahnya banyak. Kita akan semakin prihatin saja; betapa kita telah banyak menerabas dan melabrak ajaran suci yang termuat dalam ayat-ayat al-Qur'an (dan Hadis). Kita hanya bisa melanggar, bukan mengamalkannya. Kesadaran kitapun, terkait fenomena korupsi itu, baru sebatas bagaimana memperta-hankan hidup. 

      Apapun caranya, kelanggengan hidup harus kita pertahankan, kendati dengan melabrak batas agama. Inilah sebabnya Nabi SAW mewanti-wanti umatnya; "Akan datang suatu masa, di mana manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan sesuatu, baik dari jalan halal maupun haram." Dan memang, cara "tidak peduli jalan" itulah yang ditempuh kita yang koruptor ini dalam mengais rezeki. 

      Sebab itu, ungkapan "koruptor bermata kuda" sangat sahih. Koruptor hanya melihat kepentingan di depannya; diri, keluarga, kroni, dll, tanpa melirik (apalagi melihat) kemaslahatan yang ada di samping. Pada gilirannya, karena mental kita yang pejabat atau penguasa ini sudah dirasuki virus korupsi, budaya korupsi pun tak terelakkan lagi dan malah mengarat. Semua lapisan berlomba untuk korupsi dan korupsi seakan perlombaan saja. Dan di tengah-tengah tradisi korupsi akut ini, menemukan orang yang bersih dan steril, laksana mencari jarum di padang sahara. 
       
      Tak dapat dibantah lagi, korupsi adalah tindakan yang sangat ditentang oleh ajaran agama apapun. Ini karena korupsi menyiratkan dua aspek kejahatan; kejahatan teologis dan kejahatan kemanusiaan. Korupsi diklaim sebagai kejahatan teologis, karena pelakunya telah mengingkari dan mengkhianati ajaran-ajaran suci agama yang dipeluknya. Tidak ada satu ajaran agamapun yang mento-lerir, apalagi membenar-kan tindak korupsi. Bila ada ajaran agama yang mentolerir, apalagi membenarkannya, maka ajaran itu tidak layak disebut sebagai ajaran agama. 

      Sedangkan klaim korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, ini karena efek dari tindakan korupsi itu, masyarakat (terutama yang lemah) kian hidup dalam kubangan keseng-saraan. Sebab, uang negara yang seharusnya ditasharrufkan bagi kemaslahatan mereka, tidak mencapai sasaran. Uang itu "ditelan" para koruptor. Ini berarti, para koruptor telah merampas kesejahteraan me-reka. Itulah kejahatan sekaligus tragedi kemanusiaan yang luar biasa dahsyat. Karenanya, tak ada kata tawar lagi, korupsi harus secepat-nya diberangus hingga ke akarnya, sebe-lum kejahatan dan tragedi kemanu-siaan itu kian menjadi-jadi. 

      Memang, telah banyak sanksi yang dialamatkan pada para koruptor, baik sanksi formal (hukuman penjara) maupun non-formal (mayat koruptor tidak dishalati). Namun, grafik tindak korupsi bukannya mereda, melainkan kian menggila saja. Ini berarti, pemberian sanki saja belum cukup ampuh untuk meredam tindak korupsi. Barangkali saja, sanksinya terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan jera. Bila demi-kian, sanksi terberatpun harus ditawarkan, semisal hukuman mati. 

      Namun, yang terpenting sebenarnya bukan pemberian sanksi itu, melainkan mengembalikan baik kesadaran beragama mereka. Sebab, perilaku korupsi itu berakar dari kesadaran beragama yang sangat memprihatinkan. Dengan demikian, bila kesadaran beragama itu berhasil dipulihkan, niscaya tindak korupsi dapat diminimalisir. Hanya masalah-nya, mengembali-kan kesadaran beragama yang telah tercerabut itu, bukan pekerjaan mudah. Tapi, toh masih ada kesem-patan untuk melakukan hal itu. Caranya dengan berpijak pada dua model penyadaran; penyadaran teolo-gis dan penyadaran sosial.
      Pertama, penyadaran teologis. Maksudnya, secara teologis kita harus sadar, bahwa segala tindak-tanduk kita, senantiasa dipantau Allah SWT dan akan mendapat imbalan yang setimpal, baik di dunia maupun (terutama) di akhirat. Perilaku baik akan diganjar kebaikan dan perilaku buruk akan diganjar keburukan. Tidak ada perilaku, sekecil apapun, yang lepas dari pantauan Allah SWT. Lebih-lebih perilaku jahat yang nyata-nyata merugikan kemaslahatan rakyat banyak, seperti korupsi.

      Nabi SAW juga bersabda; "Setiap daging yang tumbuh dari hasil perbuatan haram, maka api neraka lebih pantas untuk melahapnya." (HR Ibnu Hibban). Secara teologis, ajaran Nabi SAW ini selayaknya juga dijadikan pijakan dalam mengais rezeki. Karena, cara-cara yang digunakan untuk itu, kelak akan dipertanyakan. Dan korupsi termasuk cara "menumbuhkan daging dengan perbuatan haram" yang diancam siksa berat.

      Secara teologis pula, siapapun kita tidak akan bisa berkelit dari sanski super dahsyat di akhirat, kendati kita bisa lepas dari sanksi dunia (inilah fungsi yaum al-hisab). Dengan demi-kian, bila kesadaran teologis ini telah terbangun, perilaku jahat yang merugikan orang lain pun dapat dihindari atau miniminal direduksi.

      Kedua, penyadaran sosial. Banyak ditemukan, baik dalam Al-Qur'an maupun Hadis, ajaran yang mengatur hubungan antar sesama. Misalnya, hubungan itu (dalam hal apapun) tidak boleh dibangun atas dasar saling mendzalimi dan menjahati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar