Rabu, 12 Agustus 2015

Bid'ah hasanah Ibnu Taimiyah dalam berdzikir



BID’AH HASANAH IBNU TAIMIYAH DALAM BERDZIKIR

            Sementara ini, apabila kita membicarakan bid’ah bersama orang-orang Wahhabi seperti Bin Baz, Al-Utsaimin, Albani yang semuanya itu menjadi idola dan kekaguman tersediri termasuk oleh H. Mahrus Ali penulis buku Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik. Maka nama Ibn Taimiyah akan menjadi satu-satunya figur ideal yang bersih dan steril dari bid’ah. Ibn Taimiyah sendiri dalam kitabnya Iqtidha’ Al-Shirath Al-Mustaqim, mencela para ulama yang membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bi’ah sayyi’ah. Tetapi idealisme ini akan runtuh apabila mereka membaca biaografi Ibn Taimiyah yang ditulis oleh muridnya, Umar bin Ali Al-Bazzar dalam kitabnya Al-A’lam Al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah halaman 37-39)

فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَلاَةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ َحَضَر بِمَا وَرَدَ مِنَ قَوْلِهِ اللهم أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى جَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ اْلوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالَى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ، لاَيُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِى الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِى خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِى تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَا دَأْبَهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَيَزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاَةِ. وَكُنْتُ مُدَّةَ إِقَامَتِيْ بِدِمَشْقَ مُلاَزِمَهُ جُلَّ النَّهَارِ وَكَثِيْرًا مِنَ اللَّيْلِ. وَكَانَ يُدْنِيْنِيْ مِنْهُ حَتَّى يُجْلِسَنِيْ إِلَى جَانِبِهِ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْا وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ فِى تَكْرِيْرِ تِلاَوَتَهَا. فَفَكَّرْتُ فِى ذَلِكَ، لِمَ قَدْ لَزِمَ هَذِهِ السُّوْرَةَ دُوْنَ غَيْرِهَا ؟ فَبَانَ لِيْ وَاللهُ أَعْلَمُ -- أَنَّ قَصْدَهُ بِذَلِكَ أَنْ يَجْمَعَ بِتِلاَوَتِهَا حِيْنَئِذٍ مَا وَرَدَ فِى الْأَحَادِيْثِ، وَمَاذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ : هَلْ يُسْتَحَبُّ حِيْنَئِذٍ تَقْدِيْمُ الْأَذْكَارِ الْوَارِدَةُ عَلَى تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْعَكْسُ؟ فَرَأَى أَنَّ فِى اْلفَاتِحَةِ وَتَكْرَارِهَا حِيْنَئِذٍ جَمْعًا بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ وَتَحْصِيْلاً لِلْفَضِيْلَتَيْنِ، وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتِهِ، (عمر بن علي البزار، الأعلام العلية فى مناقب ابن تيمية ص/37-39)
“Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat Shubuh, maka ia memuji kepada Allah bersama jamaah dengan doa yang datang dari Nabi saw : اللهم أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ Lalu ia menghadap kepada jamaah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi saw, lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali, dan diakhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdoa kepada Allah swt untuk dirinya dan jamaah serta kaum Muslimin. Kebiasaan Ibn Taimiyah telah maklum, ia sulit di ajak bicara setelah shalat Shubuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan, cukup didengarnya sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di tengah-tengah dzikir itu, ia seringkali menatapkan pandangannya ke langit. Dan ini kebiasaanya hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku Selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering mendekatkanku padanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku selalu mendengar apa yang dibacanya dan dijadikannya sebagai dzikir. Aku melihatnya membaca Al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan menghabiskan seluruh waktu dengan membacanya, yakni mengulang-ulang Al-Fatihah sejak selesai shalat Shubuh hingga matahari naik. Dalam hal itu aku merenung. Mengapa ia hanya rutin membaca Al-Fatihah, tidak yang lainnya? Akhirnya aku tahu –wallahu a’lam—bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam hadits-hadits dan apa yang disebutkan para ulama, yaitu apakah pada saat itu disunahkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari Nabi saw daripada membaca Al-Qur’an, atau sebaliknya? Beliau berpendapat, bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang Al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara kedua pendapat dan meraih dua keutamaan. Ini termasuk bukti kekuatan kecerdasan dan pandangan hatinya yang jitu”.  (Al-A’lam Al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah halaman 37-39)

            Kesimpulan dari riwayai ini, sehabis shalat Shubuh Ibn Taimiyah berdzikir secara berjamaah, dan berdoa secara berjamaah pula seperti layaknya warha Nahdliyyin (NU). Pandangannya selalu diarahkan ke langit (yang ini tidak dilakukan oleh warha Nahdliyyin). Sehabis itu, ia membaca surah Al-Fatihah secara berulang-ulang hingga matahari naik ke atas.

            Tentu saja apa yang dilakukan Ibn Taimiyah ini murni bid’ah dari dirinya. Ia menetapkan satu bacaan secara khusus, yaitu surah Al-Fatihah, tanpa ada dalil dari Nabi saw. Dia membacanya secara rutin pula setiap selesai shalat Shubuh hingga matahari naik tanpa ada nash dari Nabi saw.  Meskipun begitu, apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah ini tidak memiliki dalil, kecuali hasil ijtihadnya sendiri, tapi ia masih berhak mendapat pujian dan penghargaan dari pendukung fanatiknya, yaitu Umar bin Ali Al-Bazzar dan orang-orang Wahhabi termasuk di dalamnya H. Mahrus Ali, bahwa hal itu sebagai bukti kekuatan kecerdasan Ibn Taimiyah dan pandangan hatinya yang jitu. Di sini kita bertanya-tanya, mengapa Ibn Taimiyah selalu mendapat pujian dan penghargaan dari pendukung fanatiknya, meskipun melakukan sesuatu tanpa ada dasarnya secara khusus, sementara orang lain akan dikritik bid’ah, syirik, sesat dan kata-kata lainnya, manakala mengamalkan shalawat, tahlil, maulid, ziarah kubur dan lain-lain.

Oleh karena itu, jangan gegabah dan tergesa-gesa menuduh bahwa suatu hal yang tidak ada pada zaman Rasulullah saw. dan para sahabat sebagai bid’ah sesat  yang harus diperangi. Tetapi, dengan kedewasaan berpikir, marilah kita kaji landasan dan dalil yang mereka gunakan dalam kegiatan keagamaan tersebut. Jika memang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, mari bersama-sama kita dakwahi dengan cara yang bijaksana dan nasihat yang baik. Dan jika memang ada sumbernya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, mari kita dukung bersama sebagai sarana untuk menghidupkan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar