Rabu, 12 Agustus 2015

Hukum berkumpul untuk tahlilan menurut Islam



BERKUMPUL UNTUK TAHLILAN
Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat, jika ada keluarga yang meninggal dunia, mereka berkumpul di rumah duka untuk mendo’akan orang yang meninggal dunia tersebut. Kegiatan ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah tahlilan.
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdo’a atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdo’a atau bermunajat kepada Allah swt, dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ al-Husna, al-Qur’an, shalawat dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. 
Syeikh al-Syaukani mengatakan dalam al-Rasa`il al-Salafiyah:Para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau masjid, melagukan syair, mendiskusikan hadits, kemudian mereka makan dan minum padahal di tengah mereka ada Nabi Saw. Maka siapa saja yang mengharamkan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan, maka sungguh ia telah salah. Karena sesungguhnya bid’ah itu adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan semacam ini tidak tergolong bid,ah.”
Kesimpulan Syeikh al-Syaukani ini memang didukung oleh banyak hadits, di antaranya adalah:
عَنْ اَبِى سَعِيْدِ الْخُدرِيِّ قاَلَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَيَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ اِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلآئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: Rasulullah Saw., bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali mereka akan dikelilingi Malaikat, dan Allah akan memberikan rahmatNya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.” (HR.Muslim)

Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdo’a bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendo’akan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia? Dan apakah hal itu bermanfa’at atau tersampaikan bagi si mayit?
Dalam kitab al-Adzkar, Imam Nawawi berkata: “Para ulama bersepakat do’a bagi orang mati itu bermanfa’at bagi mereka dan pahalanya akan sampai kepada mereka (si mayit). Mereka berdalil dengan firman Allah Swt:
وَالَّذِيْنَ جَاؤُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdo’a: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.” (QS. al-Hasyr: 10)
Menghadiahkan Fatihah, atau Yasin, atau dzikir, tahlil, atau shadaqah, atau qadha puasanya dan lain-lain, itu semua sampai kepada mayat, dengan nash yang Jelas. Pendek kata, setiap orang bisa mendapat pahala ibadah orang lain, kalau pahala itu dihadiahkan oleh orang lain itu kepadanya. Atau dengan kata lain, orang lain bisa mendapat pahala dari amal orang lain.
Di bawah ini kami nukilkan beberapa dalil :
Dalil Kesatu
عَنْ مِعْقَلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِقْرَءُوْا يٰس عَلىٰ مَوْتَاكُمْ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)
“Dari Mi’qal bin Yasar, Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Bacakanlah Yasin untuk orang yang mati di antara kamu.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits ini dinyatakan bahwa orang yang telah mati baik sekali dibacakan surat Yasin, yang faedah (pahala) membacanya itu dihadiahkan kepada orang yang telah mati.
Arti ‘mauta’ dalam hadits ini adalah orang yang telah mati, dengan bukti bahwa Imam Abu Dawud memberi judul hadits ini dengan “Bab al-Qira’ah ‘inda al-Mayyit” artinya “Bab Membaca al-Qur’an di Hadapan Orang Mati.”
Di dalam Al-Qur’an perkataan ‘mauta’ itu artinya orang yang telah mati, sebagai mana tersebut di bawah ini :
إِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلاَ تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاء إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ
 “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.” (QS. al-Naml: 80)
Dalam buku Fatawa, K.H. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, sehubungan dengan hadits tersebut, ia menukil pendapat seorang ulama besar yang bernama Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani dalam kitab Dzakhirah al-Tsaminah yaitu:
وَهُوَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ يٰس مِنَ الْجَمَاعَةِ الْحَاضِرِيْنَ عِنْدَ الْمَيِّتِ اَوْ عَلىٰ قَبْرِهِ وَبَيْنِ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ الْقُرْآنِ اَوْبَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ
“Hadits tersebut derajatnya hasan. Tidak ada bedanya antara bacaan Yasin dari jama’ah yang hadir dekat orang mati atau di atas kuburnya dengan membaca seluruh ayat al-Qur’an, atau sebagiannya bagi orang mati di masjid atau rumahnya.”
Dalil Kedua
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ اُ مَّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتّٰى مَاتَتْ اَفَأَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَاَيْتِ لَوْكَانَ عَلىٰ اُمُّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ اُقْضُوا اللهَ فَاللهُ اَحَقُّ بِالْوَفَاءِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
“Dari Ibn Abbas radhiyallah ‘anhuma, bahwasanya seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw. lalu bertanya: “Bahwasanya ibuku bernadzar akan naik haji, tetapi ia meninggal sebelum mengerjakan haji itu, apakah boleh saya menggantikan hajinya itu?” Jawab Nabi: “Ya boleh, naik hajilah menggantikan dia. Perhatikanlah, umpama ia berhutang tentu engkau bisa membayar hutangnya, maka hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar”. (HR. Bukhari)
Dalam hadits ini dapat difahamkan bahwa pahala amal haji yang dikerjakan oleh seseorang anak boleh diberikan (dihadiahkan) kepada ibunya, sehingga hutang nadzar ibunya menjadi terbayar dan ibunya tidak berdosa lagi terhadap Allah Swt. 
Dalil ketiga
عَنِ ابْنِ عَباَّسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلاً يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ اَخٌ لِي اَوْقَرِيْبٌ لِي قَالَ أَحَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لاَ قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجِّ عَنْ شُبْرُمَةَ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)
“Dari Ibn Abbas radhiyallah ‘anhuma, bahwasanya Nabi Saw. mendengar seorang lelaki membaca talbiyah (dalam ibadah haji) ‘Labbaika an Syubrumah’. Lantas Nabi bertanya kepada orang itu: “Siapa Syubrumah itu?” Jawabnya: “Saudara (karib) saya.” “Apakah kamu sudah mengerjakan haji untukmu?” tanya Nabi. “Belum.” jawabnya. Nabi bersabda: Hajilah dulu untukmu, lalu baru menghajikan Syubrumah.” (HR. Abu Dawud) 
Hadits ini menyatakan bahwa ibadah haji seseorang boleh digantikan orang lain, bukan antara anak dan orang tuanya. Dan hadits inilah yang menjadi dasar bagi orang Islam yang membiasakan membayar seseorang untuk mengerjakan haji bagi orang-orang yang telah meninggal.
Dalil Keempat
عَنِ ابْنِ عَباَّسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَ رُكْبًا بِالرُّوْحَاءِ فَقَالَ مَنِ الْقَوْمُ قَالُوْا الْمُسْلِمُوْنَ فَقَالُوْا مَنْ اَنْتَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ فَرَفَعَتِ امْرَاَةٌ اِلَيْهِ صَبِيًّا فَقَالَتْ أَلِهذَا حَجٌّ قَالَ نَعَمْ وَلَكَ اَجْرٌ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Ibn Abbas radhiyallah ‘anhuma, dari Nabi Saw., beliau berjumpa dengan sekumpulan orang di Rauha’ (36 mil dari Madinah), maka Nabi bertanya: “Siapakah kaum ini?” Jawab mereka: “Kami kaum Muslimin.” Mereka bertanya pula: “Siapa tuan?” Nabi menjawab: Saya Rasulullah.” Seorang wanita mengangkat seorang anaknya dan bertanya kepada Nabi: “Apakah anak kecil ini boleh mengerjakan haji?” Jawab Nabi: “Ya, boleh dan kamu mendapat pahalanya.” (HR. Muslim)
Dalil Kelima
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Umm al-Mu’minin ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasul Saw. bersabda: “Barang siapa meninggal sedang ia berhutang puasa, maka walinya boleh menggantikan puasanya itu.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi berkata: “Menurut madzhab kita (madzhab Syafi’i) adalah sunah hukumnya bagi wali untuk membayar hutang puasa orang yang telah wafat itu. Masih menurut beliau, yang dimaksud wali di sini adalah ashabah (karib kerabat) atau ahli waris atau lainnya.
Dalil Keenam
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عَباَّسٍ أَنَّ سَعْدَبْنَ عُبَادَةَ اسْتَفْتىَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ لَمْ تَـقْضِهِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْضِهِ عَنْهَا (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)
“Dari Abdillah bin Abbas, bahwasanya Sa’ad bin Ubadah minta fatwa kepada Rasulullah saw, tentang nadzar ibunya yang belum dibayar, tetapi ibunya telah meninggal, maka Rasulullah Saw, memberi fatwa: "Bayarlah nadzar itu pengganti dia.” (HR. Abu Daud)
Dalil Ketujuh
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اُ مِّي اقْتُلِيَتْ نَفْسُهَا وَلَمْ تُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَلَهَا اَجْرٌ اِنَّ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari ‘Aisyah, bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw., dan bertanya: “Sesungguhnya ibuku meninggal tiba-tiba, saya kira kalau ia dapat bicara sebelumnya tentu ia akan bersedekah, apakah ia akan dapat pahala bila aku bersedekah menggantikannya?” Jawab Nabi: “Ya.” (HR. Muslim)
Perlu diketahui bahwa bacaan tasbih, takbir, tahlil adalah termasuk shadaqah. Hal ini dapat dilihat dalam kitab Hadits Arba’in al-Nawawiyah, hadits ke 25 sebagai berikut:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ وَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا يَتَصَدَّقُوْنَ إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً وَنَهْيٍ عَن مُنْكَرٍ صَدَقَةً وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُوا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Abu Dzar ra., sesungguhnya sejumlah orang dari sahabat Rasulullah Saw., berkata kepadanya: “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa pahala yang banyak, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedang kami tidak dapat melakukannya). Rasulullah Saw. bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah?” Sesungguhnya setiap tasbih merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah, setiap tahlil merupakan sedekah, amar ma’ruf nahi munkar merupakan sedekah dan setiap kemaluan kalian merupakan sedekah. Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, adakah dikatakan berpahala seseorang di antara kami yang menyalurkan syahwatnya?” Beliau bersabda: “Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan di jalan yang haram, bukankah baginya dosa?, Demikian halnya jika hal tersebut diletakkan pada jalan yang halal, maka baginya mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Dalil Kedelapan
عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاْلآخَرُ عَنْ نَفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ اَمَرَنِى بِهِ يَعْنِى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ أَدَعُهُ اَبَدًا (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ)
“Dari Hanasy, dari Sayyidina Ali, bahwasanya beliau berkorban dengan dua ekor kibasy, satunya (pahalanya) untuk Nabi Muhammad Saw., dan yang lainnya (pahalanya) untuk diri beliau. Maka orang bertanya tentang ini. lalu beliau menjawab: “Demikian itu disuruh oleh Nabi Saw., kepada saya, karena itu saya memperbuat selalu dan tidak pernah meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi)
Kelihatan dalam hadits ini bahwa Nabi Muhammad Saw. menyuruh seseorang berbuat kebaikan dengan berkorban seekor kambing dan pahalanya diberikan untuk beliau. Perintah Nabi ini dikerjakan terus oleh Saidina Ali.
Kalau ada orang yang berfatwa, menghadiahkan pahala itu tidak boleh (tidak sampai) maka ia menentang hadits ini.

Dalil Kesembilan
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَامِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّى عَلَيْهِ ثَلاَ ثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ اِلاَّ أَوْجَبَ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ)
“Rasulullah Saw. bersabda: “Tidaklah dari seorang muslim yang meninggal dunia dan kemudian dishalatkan oleh tiga shaf dari orang muslimin, kecuali ia mendapat ampunan.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadits ini menerangkan bahwa seseorang yang meninggal kalau jenazahnya dishalatkan oleh 3 shaf, maka si mayit itu telah berhak mendapatkan ampunan dari Allah.
Shalat 3 shaf itu bukan amal si mayit, bukan pekerjaannya, tetapi amal orang lain yang masih hidup, tetapi ia mendapat pahala dan beruntung karenanya. Ini adalah suatu bukti bahwa amal orang lain (tidak saja dari anak atau keluarganya) bisa didapat pahalanya oleh orang lain.

Dalil Kesepuluh
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَيَّتٍ تُصَلِّى عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ يَبْلُغُوْنَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُوْنَ لَهُ اِلاَّ شَفِعُوْا فِيْهِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Rasulullah Saw., bersabda: “Tidaklah dari mayit yang dishalatkan oleh sekumpulan umat Islam yang jumlahnya mencapai 100 orang yang semuanya berdo’a untuknya, kecuali do’a (syafa’at) mereka diterima untuknya.” (HR. Muslim)
Dalil Kesebelas
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلىٰ جَنَازَةٍ فَحَفِظْتُ مِنْهُ دُعَائَهُ وَهُوَ يَقُوْلُ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهُ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَـقَّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَـقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَاَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَاَهْلاً خَيْرًا مِنْ اَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْ جِهِ وَاَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَاَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ حَتّٰى تَمَنَّيْتُ أَنْ اَكُوْنَ أَنَا ذلِكَ الْمَيِّتَ وَفِى رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابَ الْقَبْرِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Auf bin Malik ra., berkata: “Rasulullah Saw., melasanakan shalat jenazah, maka aku menghafal do’a-do’a yang dibacanya ketika itu, (yaitu): “Ya Allah, ampunilah (kesalahan)nya, berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia dan ma’afkanlah dia. (Ya Allah) muliakanlah dan luaskan tempat tinggalnya serta mandikanlah dia dengan air, salju, dan kesejukan. (Ya Allah) bersihkanlah dia dari segala kesalahan sebagaimana Engkau membersihkan pakaian (berwarna) putih dari kotoran. (Ya Allah) berikanlah kepadanya rumah yang lebih baik dari pada rumahnya ini, keluarga yang lebih baik dari keluarganya ini, dan jodoh yang lebih baik dari yang ada ini sebagai gantinya. (Ya Allah) masukkanlah ia ke surga dan jauhkanlah ia dari adzab kubur dan adzab neraka. Sehingga aku mencita-citakan kalaulah aku yang menjadi mayat itu”. Pada riwayat Muslim dari jalan (isnad) lainnya disebutkan: “Dan peliharalah ia dari fitnah kubur dan adzab neraka.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah Saw., mendo’akan kepada orang yang telah meninggal, seandainya do’a itu tidak sampai kepada orang yang telah meninggal itu, niscaya Rasulullah Saw., tidak akan melakukan yang demikian itu.
Dalil Keduabelas
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اِسْتَغْفِرُوْا ِلأَخِيْكُمْ وَسَلُوْا لَهُ التَّثْبِيْتَ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْأَلُ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)
“Adalah Nabi Muhammad Saw. ketika telah selesai mengubur mayat, beliau berdiri sebentar dan berkata kepada sahabat-sahabat beliau: “Mintakanlah ampun (kepada Tuhan) saudaramu ini, dan mohonkanlah agar ia tabah dan tetap, karena ia sekarang sedang ditanya.” (HR. Abu Daud)
Dari hadits ini dapat diambil pengertian bahwa do’a dari orang yang hidup bermanfa’at bagi orang yang telah meninggal. Kalau tidak ada manfa’atnya, kenapa Nabi Saw. menyuruh supaya orang-orang memintakan ampun, mendo’akan dan memohonkan kepada Allah supaya si mayit tabah dan kuat menghadapi pertanyaan-pertanyaan dalam kubur. Jadi, orang yang telah mati itu masih bisa mendapat pahala atau pertolongan dari orang-orang yang masih hidup.
Sebenarnya masih banyak lagi bukti (dalil) bahwa amal seorang muslim dapat bermanfa’at bagi orang muslim lainnya yang telah meninggal dunia. Tetapi beberapa dalil di atas kiranya cukup bagi mereka yang ingin mendapatkan kebenaran. Semoga kita dapat mengamalkan nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar